80. RESONANSI JIWA : BELAIAN YANG LEMBUT

Resonansi jiwa belaian yang lembut

Michael, yah michael bercerita waktu dia mengambil langkah penting menuju kedewasaannya. Yaitu hanya mau di panggil michael saja dan pura-pura tidak mendengar bila dia di panggil miki waktu umur 12 atau mungkin 14, dia sendiri lupa. Tapi dia ingat betul ibunya menangis dan berkata bahwa dia terlalu cepat menjadi dewasa.

Ketika kami mulai mencicipi makanan aku bercerita dulu, “Aku dan kakakku suka memetik buah mangga tetangga kalau mengunjungi sepupu kami yang tinggal di desa. Aku ingat aku selalu makan habis bagianku sebelum pulang kerumah dan bibiku selalu memperingatkan bahwa perutku pasti akan sakit sekali. Tentu saja itu tidak pernah terjadi”.

Sementara obrolan kami yang menyenangkan terus berlanjut pandanganku melayang ke seberang ruangan dan berhenti di pojok sana. Sepasang orang tua duduk berduaan di pojok itu, si wanita mengenakan rok bermotif bunga yang sudah pudar, sama pudarnya dengan bantal tempat dia meletakkan tas tangannya yang kusam. Puncak kepala si laki-laki mengkilat seperti telur rebus yang sedang dia nikmati pelan-pelan. Wanita itu mengunyah oatmealnya pelan-pelan juga nyaris dengan susah payah.

Tetapi yang membuat pikiranku teralih kepada mereka adalah keheningan yang melingkupi mereka. Aku seakan melihat kekosongan yang sangat melankolis melingkupi pojok tempat mereka duduk.

Ketika obrolanku dengan michael berada dari gelak tawa menjadi bisikan dari pengakuan ke penilaian, keheningan pasangan itu mengusik pikiranku. Alangkah menyedihkan pikirku kalau tidak ada lagi yang bisa di obrolkan, tidakkah adalah halaman yang mereka baca dalam kisah hidup masing-masing. Bagaimana kalau itu terjadi pada kami.

Setelah acara makan selesai dan aku juga tidak lagi mempedulikan tingkah pola kedua pasangan yang sudah tua itu. Michael dan aku membayar makanan lalu beranjak meninggalkan restoran yang kami pesan.

Ketika kami melewati pojok tempat pasangan itu duduk, dompetku terjatuh aku membungkuk untuk mengambilnya dan aku melihat di bawah meja tangan mereka saling berpegangan lembut. Mereka makan dengan hening sambil bergandengan tangan. Aku heran, menegakkan tubuhku pelan tapi pasti.

Pandangan yang sederhana tapi aku sangat tersentuh melihat tindak sederhana namun penuh makna yang mencerminkan kedekatan hubungan pasangan itu. Aku merasa istimewa karna aku bisa menyaksikannya.

Belaian lembut tangan laki-laki tua itu pada jari istrinya yang letih dan keriput, tidak hanya mengisi apa yang sebelumnya kuanggap sudut yang secara emosional masih kosong tetapi juga mengisi hatiku. Keheningan mereka bukanlah keheningan yang tidak nyaman seperti ketidaknyamanan yang selalu kita rasakan setelah mendengar sebaris lelucon atau canda tawa waktu kencan pertama, bukan itu. Bukan itu yang dimaksud, keheningan mereka adalah keheningan yang nyaman dan rileks. Itu adalah ungkapan cinta yang lembut yang tidak selalu membutuhkan kata-kata untuk mengekspresikannya.

Mungkin telah bertahun-tahun mereka bersama menghabiskan jam-jam seperti ini di pagi hari. Mungkin hari ini tidak ada bedanya dari hari kemarin, tetapi mereka menikmatinya dengan hati yang damai. Mereka saling menerima pasangannya apa adanya, kelebihan dan kekurangannya.

Aku berpikir, mungkin ketika aku keluar dari restoran bukan sesuatu yang buruk bila kelak yang seperti itu pula yang kami alami. Mungkin, mungkin itu akan menjadi ungkapan cinta yang paling lembut dan penuh kasih yang pernah aku lihat.


Untuk mp3 nya silahkan download di link berikut ini:
Resonansi Jiwa : Belaian yang Lembut mp3


Resonansi jiwa full 93 judul teks dan mp3

0 Response to "80. RESONANSI JIWA : BELAIAN YANG LEMBUT"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel